Saturday, May 2, 2009

Antara Ikhtiar dan Rezeki


"Berapa banyak binatang yang (tidak) sanggup membawa rezekinya sendiri. Allahlah yang memberi rezekinya, juga kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS al-Ankabuut ,29: 60)

Ada manusia yang setiap hari menumpahkan tenaga, fikiran, dan hatinya hanya untuk berikhtiar. Namun ada juga manusia yang begitu yakin dengan jaminan dari Allah. Sementara itu, yang paling beruntung adalah orang yang ikhtiar lahirnya dengan akal lalu disempurnakan dengan tawakal. Dan inilah yang membuat dirinya menuai jaminan dunia dan akhirat dari Allah Azza wa Jalla.

Sebenarnya, dalam berikhtiar itu harusnya kita berbahagia. Sebab ternyata ada juga orang yang sibuk ikhtiar tapi tidak bahagia. Penyebabnya tak lebih kerana orang ini bergantung hanya dengan ikhtiarnya sendiri. Padahal, ikhtiar itu bukan untuk kita harapkan. Ia merupakan amal soleh kita. Kita disuruh ikhtiar justeru agar mempunyai amal.

Pada dasarnya seluruh makhluk sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Yang tidak dijamin adalah ganjaran. Ganjaran atau pahala harus kita cari, tetapi rezeki sudah menjadi jaminan-Nya. Oleh karena itu Imam Ibnu Aththaillah, penulis kitab Hikam, mengatakan:

"Jangan risaukan apa yang sudah dijanjikan Allah kepada kita tapi risaukanlah kalau kita lalai terhadap kewajiban-kewajiban yang dibebankan terhadap kita."

Maka, kalau kita kemudian masih merasa resah dan gelisah dalam hidup ini jangan-jangan itu ciri kita masih bergantung kepada ikhtiar. Padahal kalau kita ingin bahagia dalam mencari nafkah atau rezeki, sempurnakanlah ikhtiar sambil menyempurnakan pula tawakal pada-Nya.

Allah Maha Tahu kebutuhan kita melebihi apa yang benar-benar kita butuhkan. Maka, berbahagialah orang yang tidak pernah bergantung pada amal ikhtiarnya. Tubuh bersimbah keringat berkuah keringat, tapi hati seratus peratus bertawakal kepada Allah SWT.

Sungguh luar biasa pentingnya bagi kita untuk menjaga diri dari apapun yang membuat kita tidak melaksanakan kewajiban kita. Dengan kata mudahnya, ada seorang majikan menyuruh hamba sahayanya untuk bekerja, tidak mungkin majikan ini lupa memberi makan kepada hamba sahayanya.

Kerana kalau lupa maka hamba sahayanya ini tidak akan dapat bekerja. Semakin bagus kerjanya, akan diberikan pakaiannya atau keperluan lainnya. Lalu, bagaimana mungkin Allah yang memerintahkan kita untuk ibadah dan kalau kita beribadah saja tidak diberi kecukupan?

Contoh lagi.. Kita diperintahkan untuk solat dan solat itu harus menutupi aurat. Pasti kita akan dicukupi rezeki menutup aurat sebab yang menyuruh menutup aurat adalah Allah. Allah memerintahkan kita untuk bersedekah, lalu bagaimana mungkin kita bisa sedekah kalau kita tidak diberi rezeki sementara itu yang memberi rezeki adalah Allah. Jadi, andai saja kita tahu kewajiban kita dan kita tunaikan dengan baik maka insya Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakannya.

Dalam hal ini, kewajiban kita yang pertama adalah berhusnudzon (berbaik sangka) bahwa Allah adalah Maha Penjamin rezeki. Karena Allah berfirman dalam Hadis qudsi:

"Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku."


Yang kedua. Ikhtiar di jalan yang Allah sukai itu baik. Kalau Allah menyuruh kita jujur, jujur saja, mengapa enggan? Mungkin kita pernah mendengar ungkapan ini:

"Cari rezeki tidak jujur pun susah, apalagi kalau jujur." Mana mungkin Allah yang menyuruh kita agar jujur, tetapi Allah tidak memberinya.

Atau Allah menyuruh kita agar menjadi orang bertaqwa tetapi mana mungkin Allah tidak memandu kita agar benar-benar dapat menjadi orang bertaqwa. Mungkin jalan itu adalah melalui ujian, musibah dan penderitaan agar hambaNya itu lebih bersyukur dan sentiasa berharap padaNya.

Nah, begitulah lebih kurang hakikat ikhtiar dan rezeki kita. Yang utama tunaikan kewajiban kita lebih dahulu maka rezeki InsyaAllah akan terpenuhi. Wallahu a`lam.

Penulis : KH Abdullah Gymnastiar (Aa.Gym)

Editor: SatuKALIMAH (versi Bahasa Melayu)

Sumber : http://republika.co.id

No comments:

Post a Comment